Archive for Oktober, 2011


Rasa Adalah Pilihan

Banyak orang berkata, termasuk simbahku “hidup itu sawang sinawang”, masing-masing ngiler dengan yang dimiliki orang lain. Lupa bahwa dengan hukum sawang sinawang itu berarti tiap hal yang dimiliki memiliki potensi untuk membuat orang lain ngiler. Terlalu sibuk menaksir harga yang dipunyai orang lain sampai lupa menghargai yang telah didapat. Suatu ketika aku bertanya pada seorang kawan yang sugih, memiliki beberapa usaha, punya beberapa mobil, “Gimana rasanya hidup sampeyan dengan semua harta yang sampeyan punya? Seneng? Sangat seneng? Atau sangat seneng sekali?”. Tentu dengan menilik kondisiku yang cuma mengandalkan bayaran dari pabrik, kemana-mana masih nyemplak si kuda hitam bermesin besi. Aku mengharap jawaban bahwa dia pasti sangat senang sekali dengan kehidupannya. Tapi ternyata tidak begitu jawabannya, dia bilang level kesenangannya biasa saja.

Kata kawanku, ” jawaban sangat senang sekali mungkin baru akan keluar saat aku yang belum punya beberapa mobil ini ditanya, “Bagaimana seandainya sampeyan memiliki beberapa rumah dan mobil, serta 20 pom bensin?”. Kenapa? ” bukan karena rumah, mobil, dan pom bensinnya, tapi karena semua itu masih sebatas aku  memandang, belum dalam jangkauan” .

Ada kata-kata yang mungkin terdengar klise:

aku tidak selalu mendapatkan apa yang aku sukai, karena itu aku selalu berusaha menyukai apa yang aku dapatkan.

Rasa adalah pilihan. Tergantung bagaimana sampeyan mengatur hati dan kepala. ” Bersyukur adalah urusa sampeyan denganPencipta “, jangan lihat kiri kanan, bandingkan diri sampeyan sendiri.

Konon suatu saat ada seorang petani miskin mengeluh kepada Mbah Kyai, “Mbah, saya ini kok sengsara tenan ya? sudah rumah sempit, anak banyak, mertua numpang. Sumpek bener saya di rumah!”

Kata Mbah Kyai, “Besok pergilah ke pasar, belilah ayam 10 ekor, peliharalah.”

Besoknya si petani datang lagi, “Waduh Mbah, makin sumpek saya. Sudah rumah penuh masih ketambahan ayam!”

Kata Mbah Kyai, “Sampeyan besok ke pasar, beli kambing 2 ekor, peliharalah.”

Beberapa hari kemudian si petani datang lagi, dan disuruh membeli serta memelihara seekor sapi. “Bagaimana kondisi sampeyan? Sudah membaik?” Tanya Mbah Kyai beberapa minggu kemudian.

Si petani yang makin kurus karena stress itu menjawab, “Membaik gimana Mbah?? Rumah saya sudah seperti kebun binatang! Belum lagi kepikiran utang buat beli sapi dan kambingnya!”

Mbah Kyai tersenyum, “Besok sampeyan pergilah ke pasar, jual sapi sampeyan.”

Beberapa waktu berlalu, Mbah Kyai ketemu si petani, wajahnya tampak agak lebih berseri, “Sekarang agak lumayan Mbah, rumahnya jadi lebih longgar.”

“Kalau begitu besok sampeyan pergilah ke pasar, jual kambing sampeyan.” Kata Mbah Kyai.

Selang berapa minggu kemudian setelah ayamnya dijual, Mbah Kyai bertemu dengan si petani, wajahnya segar. “Saran sampeyan memang manjur Mbah, rumah saya sekarang jadi nyaman!”

 

Kadang menerima apa yang ada membuat pilihan rasa menjadi lebih mudah.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman sebut saja anwar mendatangiku, dia bilang kedatangan dua orang kawan dari Jakarta, pegawai negeri di sebuah instansi yang lumayan mentereng. Aku tak bermaksud bilang bahwa lingkungan PNS terbagi atas kasta-kasta, tapi siapapun tak akan bisa membantah kalo instansi tempat kawannya si Anwar ini memang termasuk instansi yang nggegirisi, kalo bisa aku tak ingin berurusan dengan mereka.

“Yud, kamu ada kenalan orang hotel XXX tak?” tanya Anwar waktu itu. *maap, nama hotel terpaksa disensor*. Aku cuma meringis, ” ini nanya apa ngece? Buruh macam aku ini baru bisa nginep di situ klo dibayari, bahkan sekedar melongok ke lobinya pun aku minder, wong itu hotel berbintang. Lha kok ditanya punya kenalan orang dalem apa tidak. Ngece tho namanya?! ” kataku. “Jangan emosi to, ini soale penting. Siapa tahu kamu bisa bantu, atau minimal kamu punya teman yang bisa bantu.” Kata Anwar.

Kadang aku heran, entah kenapa klo sudah berurusan sama instansi kata “membantu” biasanya identik dengan kolusi, koneksi, dan ko-si-ko-si yang lain. Dan memang benar, bantuan yang diminta oleh kawannya Anwar ini tak jauh-jauh amat dari situ.

Jadi ceritanya dua orang pejabat pusat ini dapet tugas dari kantornya untuk melakukan kunjungan kerja di Semarang. Di instansi tempat dua orang ini bekerja biaya akomodasinya dibikin model reimburse, alias penggantian di belakang. Konon yang seperti ini kadang dipakai sebagai ajang cari laba, apalagi untuk biaya-biaya yang tak ada kuitansinya, misalnya naik angkot diklaim sebagai naik taksi, dan semacamnya. Lha masalah timbul waktu dua orang ini pengen nginep di satu kamar dengan tetap mendapat tagihan dua kamar hotel. Pihak hotel tak mau mengeluarkan tagihan yang diminta, sementara si pejabat ngotot klo biasanya hal seperti itu bisa dilakukan.

Aku tak tahu bagaimana akhir dari cerita kawan Anwar itu, entah berhasil atau tidaknya untuk mendapatkan tagihan dua kamar hotel. Tapi klo mereka berhasil ya lumayan, anggaplah tarif standar di hotel itu Rp 500.000 per malam, dikali dua hari, minimal dari kunjungan kerja itu dapet laba setengah sejuta, cuma dari kamar hotel saja. Laba? Memang dagang apa kok untung?. Terserah mau nyebut apa, memang kenyataannya begitu. Walaupun sebenarnya sistem reimburse ini mungkin masih jauh lebih baik daripada sistem yang mereka pakai sebelumnya. Konon katanya dulu biaya perjalanan dinas ini besarannya sudah ditentukan untuk tiap daerah. Jadinya pejabat-pejabat pada berebut kunjungan ke daerah terjauh karena dapat duitnya paling gede, labanya (lagi-lagi) tentu juga paling gede.

Si Anwar juga pernah cerita klo nyari laba semacam itu tak cuma dilakukan di instansi pemerintah. Ada seorang kawan karyawan swasta yang cerita begitu, pagi-pagi dia sampai di Stasiun TawangPoncol dari tugas luar kota maka yang dia lakukan adalah bergegas menuju ke Stasiun Tawang. “Ngapain?” kataku. ” Nyari tiket! Bukan pesen tiket lho ya, tapi nyari tiket bekas kereta eksekutif untuk nanti diklaim ke kantornya. Salahkah yang semacam itu? “. kata Anwar sambil bertanya kepadaku. Aku pikir bukan domainku untuk bilang itu benar atau salah karena tiap perbuatan selalu ada latar belakang yang belum tentu aku paham benar. Tapi klo menurutku mungkin lebih baik ngakali anggaran perusahaan dibanding ngakali anggaran negara. Paling tidak klo ngakali perusahaan cuma duit si boss atau duit beberapa pihak saja yang diambil. Sedangkan klo ngakali anggaran negara berarti duit rakyat yang diembat, tanggung jawabnya lebih menakutkan. Tapi tetep sama dosanya.

Mendadak aku teringat kata-kata bapakku, “Orang yang berkecukupan seharusnya lebih bisa dipercaya, karena seringkali orang nekat sebab dipaksa keadaannya yang melarat. Tapi ingat-ingat yo yud, kalaupun kita melarat belajarlah untuk jadi orang kaya, minimal pura-pura dulu jadi orang kaya. Perbanyak sedekah, tidak perlu silau sama harta dunia, tidak perlu iri lihat orang lain dapat rejeki, tidak  asal main samber tanpa peduli halal haram. Siapa tahu nantinya kamu beneran jadi orang kaya.”

Sekarang klo dibalik, orang yang hidupnya berkecukupan tapi masih tidak mau sedekah, susah keluar zakat, masih gampang panas lihat tetangga dapet rejeki, trus segala macem disamber tak peduli itu haknya atau bukan, mosok ya dia sedang belajar untuk jadi melarat?

Sekilas memang tak ada yang istimewa dari sandal jepit yang dulu aku beli dengan harga tak sampe 10 ribu rupiah itu, cuma sandal murahan warna biru dengan tulisan swallow, yang membuat kesan murahannya semakin sangit tercium. Tak seperti saudaranya sesama sandal jepit yang aku lihat di sebuah Mall waktu aku ketemu sama teman-teman, sama jepitnya tapi beda kasta, 500 ribu harganya, klo tak salah tulisannya Crocs. *harap maapkan klo salah, aku terlalu terpana dengan harganya*.

“Lha trus apa keistimewaan tersembunyi yang ada di sandal jepitmu itu yud?” tanya seorang teman. “Justru itu istimewanya, karena memang tak ada keistimewaannya. Sandal jepitku itu begitu sandal jepit banget.”

Sandal jepitku memang memiliki nuansa yang sangat sandal jepit. Dia begitu ampuh mengundang lirikan menyelidik dari satpam-satpam mall yang kebanyakan pengunjungnya modis, dia juga penuh dengan hawa penolak sales, buktinya tak sekalipun aku dihentikan oleh sales-sales yang banyak berkeliaran di mall. Jangankan mbak-mbak seksieh, mas-mas yang aku pikir level kendesoannya cuma 10-11 dibanding aku pun tak ada yang berminat.

Mungkin karena itu waktu ketemu seorang teman lagi kemarin aku dengan sedikit penyesalan minta maap sama dia, “Maap yes, aku cuma pake sendal jepit, maklum wong ndeso. Lebih baik aku mengaku ndeso terlebih dahulu daripada dia berkata dalam hati, “Ini orang kok ndeso banget!”.

Sandal jepitku juga tak punya nuansa kepura-puraan seperti yang kadang digunakan oleh orang-orang kaya waktu datang ke kantor pajak. Pake kaos lusuh, celana kumal, sandal jepit, dengan naik motor butut, padahal di rumah mobilnya anyar kinyis-kinyis dan semua anaknya kuliah di luar negeri. Sandal jepitku begitu bersahaja, lugas, dan apa adanya. Nyaman luar biasa. Hingga pernah suatu saat aku mau kondangan, aku sudah nyiapkan sandal kulitku satu-satunya, sandal paling bagus yang aku punya. Lha kok pas turun dari angkot menjelang tempat kondangan aku baru nyadar, yang aku pake sendal jepit!. Maklum waktu itu gerimis.

Ajining raga dumuning ing busana kata bapakku, orang akan menilai kita berdasarkan apa yang kita pake. Karena itu aku tak menyalahkan para satpam, para sales yang anderestimet sama diriku gara-gara sandal jepit. Di jaman yang serba materi ini sandal jepit cenderung identik dengan tak punya duit, yang tak menarik buat para sales tentunya, buat para satpam pun yang punya duit mungkin dipandang berpotensi kriminal, sebagus-bagusnya paling cuma ngrusuhi karena tak ada yang bisa dibelanjakan.

“Memangnya kamu punya duit yud?” tanya temenku penuh selidik. “tak punya.” kataku. “Ya sudah, tak usah protes orang-orang pada anderestimet!” Seru salah satu teman dengan tawa bernada pelecehan. Mungkin aku memang harus belajar jadi orang kaya, dan konon untuk bisa jadi orang kaya. Pertama-tama aku harus berpura-pura jadi orang kaya. Jadi darimana aku harus memulai, mengganti sandal jepit legendaris itu dengan Crocs mungkin?.

1/3

Sepertiga dari isi kepalaku ialah kamu, sisanya tentang cara-cara membahagiakan kamu

#Rindu (3)

Rindunya lagi kepengen di coret-coret. *pasang ikat kepala*

Rindu ini cuma aku yang mengerti. Mungkin ini tidak nyata, karena kamu tak mungkin kumiliki.

Rindu ini seperti penantian yang tak berujung. Pundung.

Rindu ini tak bertepi. Meskipun kamu selalu hadir dalam angan dan mimpi.

Rindu ini adalah sebuah realita. Dari sebuah cinta yang tak nyata.

Rindu kilatan tatapmu. Tatapan yang bercerita tentang keangkuhanmu.

Rindunya sering hadir disaat gundah. Aku ingin kedamaian, bukan pilu. DUAAAAAAARRR!!

Rindunya musnah. Seketika kau menyebut namanya.

Rindu ini cuma menyebut namamu. Kuteriakan kuat-kuat, bersuara sampai habis, sampai tenggorokan mengering dan berkerak.

Rindu ini merangkul erat bayanganmu. Lagi-lagi karena kau bukan milikku.

Rindu ini rela menggugurkan keringat dan air mata demi melihatmu tersenyum bahagia.

Rindu ini abadi untukmu. Walau tak bisa menjagamu, namamu sudah terukir indah di altar hatiku…eeeeaaa!!!

Rinduku selalu bersahabat dengan penantian. Di situlah keindahan rinduku.

Malam ini rinduku diadu. Tak satu kata pun beradu padu pada sebuah kotak merah jambu yang menjelma seperti kelambu.

Cintaku, aku rindu. Lalu, pada siapa aku harus mengadu?

Namamu terus bergema. Entah mengapa. Seperti menyapa. Tapi dimana? inikah disebut rindu?

Rindu ini punya seribu tanya. “Sedang apa kamu disana?”

Rindu ini bau kecut. Seperti aroma kancut.

Rindu ini dungu. Sedikit belagu, dan agak berbulu.

Rindu ini masih bernapas. Tolong  jangan di sumpel dengan kapas.

Rindunya tulus. Seperti hatinya. Begitu juga badannya, mulus.

Rindu ini sadar banyak yang mengharapkanmu. Berharap kamu untuk aku selamanya. #sekarepmu

Rindu ini punya pengakuan. Sangat menginginkanmu. Sangat sadar sedang berada diantara kalian.

Rindu ini sadar bahwa ia tidak akan bisa memilikimu seumur hidupnya. Maka dari itu ia tak pernah mencari tahu apa yang engkau inginkan.

Mereka boleh ikut menangis ataupun bahagia. Tapi rindu kita bukan urusan mereka.

 

#Rindu (2)

Rindu ini samar-samar. Sesekali bergetar. Sedikit kasar. Mudah2an tidak memar.

Rindu ini membeku. Aku kedinginan tanpamu.

Rindu ini memeluk mimpi. Berteman dengan sepi.

Rindu ini terdiam dalam bisu. Apa mungkin punya makna yang palsu.

Rindu ini terjebak perang dunia. teraniaya.

Rindu ini telat 3 bulan. Lupa di keluarkan. keenakan.

… I miss u

Rindu pagi2 itu ngeselin. Bikin ga produktif.

Rindu ini membeku. Terlalu lama kamu meninggalkanku. Kaku.

Rinduku mencair. Kemudian terbang bersama uap air.

Rindu ini menutup mataku sampai lupa mengingat warna bola matamu.

Rindunya gerah. Belom mandi. Kali.

You know me so well.. I miss your baweeeel..

Rindu ini mulai panik. Agak sedikit nyentrik. Tapi asik.

Rindu ini haus. Butuh asupan jus. Just youu bebiii..

Rindunya jomblo. Abis kamu rindu yang di deket rumah joglo.

Jangan katakan rindu, bila untuk hampiri alam mimpiku saja kamu tak mau.

Rindunya bertepuk sebelah tangan. Wanita yang di rindukan merindukan orang lain. Kejam. Suram.

Rindunya enggan bercerita. Rahasia semesta.

Rindunya belum matang. Jadi belum bisa di panen. Klo kamu sayang mau dong aku kangen.

Aku rindu jatuh. Jatuh cinta.

Rindu ini tidak manis. Mungkin kurang harmonis. Cobak pake pernis biar terlihat manis.

Rindunya gengsi. Mungkin takut ada saksi. Semoga bukan ilusi.

Rindunya bawel. Maklum, baru aja ditowel.

Rindunya lagi males bermain. Mungkin sedang migrain.

Rindu ini cuma separo. Mungkin karena ada permainan caro.

Rindu ini ga akan sembuh. Sebelum ada kamuh. Catet tuh

Rindunya ga perlu di test. Dia belom telat 3 bulan.

Rindunya sama kayak buah pepaya. NGEGANTUNG.

Rindunya saling silang. Entah aku yang hidung belang, atau kamu yang culang.

Rindu ini belum mau di wisudah. Cinta almamater, ceunah.

Rindunya KLAsik. Doyannya KLApertart. Musiknya KLAprojek.

Rindunya makin lama makin lebat. Kayak bulu ketek.

Rindu ini menjelma dalam cuek. Bwleekk..

Rindunya cuma dalam mimpi. Soalnya cuma di mimpi aku bisa nyium pipi.

Klo kamu sadar sih semua rinduku buat kamu. Tuh kan, kamu pasti lagi nyengir.

#Rindu

Rindu ini ingin bercerita. Semoga waktu kalian tidak tersita. Baca saja, jangan di cela. Karena akulah sang pemula.

Rindu ini dangkal. Ketika tahu tak ada ruang di hatimu untuk aku tinggal. Walau cuma sejengkal. Itu semua mustahal.

Rindu ini menggelitik. Seperti habis di suntik. Hey cantik, kemarilah aku mau berbisik.

Rindu ini membentuk aksara yang tidak karuan. Aku heran.

Rindu ini hanya setumpuk perasaan yang tak berubah dan tak mungkin salah.

Rindu ini semakin mengeras. Tidak seperti pankreas, dia tidak menguras, ataupun merampas.

Rindu ini tak berujung. Kamu ga perlu bingung ataupun linglung.

Rindu ini tertatih. Bertambah letih ketika terputar kerispatih. Meringkih. Tiba2 jadi putih.

Rinduku membentuk benci. Sudah tahu bakal terjadi, malah di jalani. Dasar panci !!

Rindu ini butuh tandu. Tak kuasa aku menunggu satu windu. Untuk bertemu kamu, candu!!

Rinduku penyakitan. Siapa yang tahan oleh godaan. Klo kamu yang baris paling depan.

Rindu ini membuatku bosan jadi orang cakep. Rindu ini emang kode minta di bekep.

Rindu ini tidak adil. Ingin rasanya menelan bedil. Mungkin rasanya sama kayak candil? Ah dasar kerdil.

Rindu ini semu. Terlihat tak bermutu. Ketika tak ada kamu.

Rindu ini mulai mendengkur. Seminggu tidak tidur. Kulit jadi lentur. Bicara pun mulai ngelantur. Ngeblurr!!

Rinduku mati suri. Entah siapa yang terakhir mencuri. Wanita itu telah lari. Mungkin ke planet merkuri.

Rindu ini berbahaya.

Bila rindu tak terbendung, boleh aku datang minggu depan?

Rindu ini tertib berbaris. Meskipun teriris dan terlihat miris, aku tak menggubris. Aku berjalan sesuai garis.

Rindu ini sederhana. Sedikit tak biasa. Tapi membahana di angkasa.

Rindu ini cukup tangguh. Walaupun sedikit gaduh, dia tak suka mengeluh. Apa kamu sudah siap mengunduh?.

Rindu ini sedikit rancu. Saat kamu memakai gincu, atau saat sedang tak bergincu.

Rindu itu semacam barbel. Memberatkan hati. Membuat kencang otot2 percitraan.

Maaf rindu ini menyita waktuku. Otak ini di penuhi angan tentangmu. Tolong kasih ruang buatku.

Rindu tidak butuh pemandu. Seperti si buta dari goa hantu. Matanya tak melihat, tapi dia mampu meninju. Hey candu, aku rindu.

Rinduku tak berujung. Tak jelas kapan lagi kamu akan berkunjung. Menggantung? Ah tidak.. Semoga rindu ini cepat rampung.

Rindu ini menjagaku. Menjaga ‘kita’. Ketika sedang rindu, aku enggan memanjakan mata.

Rindu ini berjalan sesuai kemampuan. Akan tiba suatu masa dimana rindu vs cobaan. Semoga kita bisa bertahan.

Rindu selalu bersahabat dengan waktu. Maka dari itu aku berniat menghancurkan bulan dan matahari. Si penanda waktu.

KOTAK PENYIMPANAN RINDU. Jaga baik-baik. Jika tidak sanggup, kembalikan secepatnya, sebelum kamu tahu apa isinya.

Rindu ini egois. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri.

Rindu ini melemah. Ketika aku lemah. Dan ada yang memanah. Aaahh.. Tumpah ruah..

Rindu itu sesuatu yang harus dipertahankan atau dihilangkan?

Aku bukan tukang ngeluh. Hanya sekedar ingin kau tahu. Rinduku menyeluruh.

Rindu itu hanya sebuah kata yang mungkin secara tidak sengaja membuat aku membentuk sebuah kata-kata.

Seketika saja rindu bisa membuatku tak bisa berkata-kata.

Rindu ini serupa ayam bakar. Nikmat ketika baru saja di bakar. Kurang nikmat ketika sudah dingin.

Rindu ini bergemuruh. Teringat tentang kamu, penuh. Menyeluruh.

Rindu ini meninggalkan nama. Raut muka. Semua yang kamu punya.

Rindu ini membuatku resah. Menahan gundah. Melihatmu di renggut, lepas…sudah.

Rindu membawaku pada waktu yang semakin sempit. Persaingan makin sengit. Merobek langit.

Rindu ini berirama syahdu. Menemaniku mengisi waktu. Kala sepi di dalam kalbu.

Rindu adalah bayangan bagi pecinta yang bertemu dalam kenangan.

Rindu ini semakin bawel. Tersimpul rapih dalam kemasan towel.

Rindu ini mulai bertamu. Pada siapa aku mengadu?

Rindu ini tentang hasrat untuk bertemu. Bukan sekedar bercumbu atau melihatmu.

Rinduku ngajak ribut. Sekali sundut langsung semaput.

Rindu ini berbuah. Awalnya hanya menanam pohon cintah. Belakangan ini mulai sengsarah.

Rindu ini semakin kuat. Apa yang bisa diperbuat?

Kangendong..kemana-manaa.. kangendong..kemana-manaaaa

Rindu ini bau. Bau kamu.

Rindu ini pendiam. Tak suka menyelam. Takut tenggelam. Cuma bisa berharap, kemudian karam.

Rindu ini khilaf. Menyebut namamu ketika bersamanya. Ya aku khilaf

Rindu ini berkelas. Tak mau terlihat melas. Ataupun berharap dibalas. Memang aku berdarah pemalas.

Rindu ini berkeringat. Cukup suli baginya mengingat. Semua hal yang bikin penat.

Rindu ini cuma mimpi. Seriusli.

Rindu ini mengeluarkan air mata. Mungkin lebih bermakna daripada tawa yang penuh dusta.

Rindu ini hanya mimpi. Hanya untuk melepas sepi. kemudian menepi.

Rindu ini milik kamu. Mungkin masih terlihat semu.  Semoga kamu tidak jemu.

Rindu ini bikin remuk. Cerita nyamuk.

Rindu ini terbata-bata. Kalo disusun bisa membangun rumah kita.

Rindu ini tak tahu malu. Dia tak sadar kalau sedang jadi benalu.

Rindu ini tak tahu waktu. Sebentar-sebentar udara dibuatnya menjadi batu.

Rindu ini malu bertanya. Sesat di jalan.

Rindu ini nyaman di dunia khayalan. Bebas berjalan. Tanpa cacian.

Rindu ini bersembunyi. Berlari menuju tempat sunyi.

Rindu ini bergemuruh. Ketika ingat dikau, penuh…menyeluruh.

Rindu ini menggebu-gebu. Saat kamu bilang membutuhkanku. Ah, aku malu.

Rindu ini menyadarkanku. Dalamnya rindu dapat membuat bisu.

MERINDUMU. Berwujud semu. Takkan ku sesali. Karena aku yang memilih (merindukan) mu.

Rindu ini punya cerita. Walau tidak nyata, setidaknya ini realita.

Rindu ini tak dapat berucap padamu. Bahkan walau telah menyentuhmu.

Rindu ini butuh kepastian. Dia tidak ingin mati dalam penantian.

Rindu ini duduk di antara corong dan pengeras suara mesjid. Menyapamu melalui gelombang yang mengawang.

Rindu ini mulai merindu saat2 pertama kita bertemu.

Rindu ini tertahan dalam kabut yang kelam. Sangat kejam. Senja pun sempat muram.

Rindu ini memecahkan keramaian. Membuat aku kesepian.

Rindu ini tak aman. Dia tidak nyaman.

Rindu itu seperti kentut. Di tahan sakit. Di buang di tempat umum takut bau.

Rindu ini dimanaaaa dimanaaaa dimanaaaa.

Rindu ini punya tanda pengenal. Coba kamu lihat, apakah masih tertulis namamu disana?

Rindu ini boleh di cek di toko sebelah. Klo ada yang lebih wah, silahkan pindah.

Rinduku bisa mengeras dan melemah. Tak bisa diatur oleh akal. Cukup dijamah.

Rindu ini tidak genic. Kamu jangan panic. Dia suka muncul dengan sesuatu unik.

Rindu ini tak beraksara. Mungkin punya nyawa. “hahahaha” seketika dia tertawa. jumawa.

Rindu ini punya IRAMA. Mungkin dia alumni SONETTA. RHOMAn-RHOMAn nya sih..

Rindu ini tak bisa bercermin. Dia hanya bisa mengomentari kerinduan orang lain.

Rindu ini makin lama makin terlalu. Pedes Manis. (Pedes ketika di rasa, Manis ketika di ingat. -red).

Rindu ini bikin HATCHI. Lama-lama aku benchi.

Rindu ini bisa saja mati suri. Ketika aku tersadar bahwa kau ternyata tak terganti.

Rindu ini mengaburkan Matahari. Membuatku terjaga di malam hari. Kemudiaaaan……. *isisendiri

Rindu ini gak pake acar. Kata siapa semua ini tentang pacar?

Rindu ini karetnya dua. Siapa bilang aku mendua.

Rindu ini tidak bersalah. Waktu yang tak mau mengalah. Gerah…gerah…gerah… Ah, aku lelah.

Rindu ini selalu aku jadikan sebuah cerita sebelum aku tertidur.

Kata2ku tidak berkonsep. Maaf2 jika memalukan. Saya undur diri yaa. *lowbat

Selamat tidur para perindu.

 

9 tahun yg lalu, kita baru paham ada yg namanya teroris di sini. Lahir dari buaian kafe bernama sari club dan paddy’s. 12 oktober 2002. aku masih sma *uhuk. Liat tipi ada amroji sekeluarga. mereka siapa?. Dan sejak saat itu wajah Indonesia berubah mirip operasi plastik, tapi jadi buruk rupa. Berkembanglah mahzab imam samudra. Ada yg bilang mereka antek Amerika, atau dari Arab, juga ada yg bilang mereka veteran perang bubat di Afganistan. Aku ga peduli!!!! yg jelas, mereka TERORIS!!!!!

Lambat & Berkarat!

Kau kira kau hebat? Kau hanya pekat yang hilang saat kupadukan deterjen dengan sikat!. Lambat-lambat meresap logika lama yang nampak senyap. Kemana kau akan terbang? Kemana kau akan hilang? . Gantungkan mimpi pada bintang?. Rasakan pegas jiwamu melayang hingga surga!. Berkenalanlah dengan hasratmu. Kemudian berkelanalah lebih jauh! Buang semua jelaga dalam otakmu, tuan muda!. Persetan suara sore yang berkumandang. Siang ini aku menantang malam untuk datang. Menjemput keraguan lebih awal. Bercerai dengan keramahan jiwa yang kini kembali meliar. Bagai terkena godam raksasa yang menghantam kedamaian ditengah diam hulubalang!.

 

Aku hanya bodoh. Bukan tersesat. Hanya tidak bisa menemukan jalan kembali, bahkan dengan kompas asmara yang dia titipkan dalam jiwa!. Bagian tersulit adalah mengalahkan sisi diri yang gelap, bahkan ditengah cahaya suci sekalipun. Ini yang membuat semua pergi, semua benci!. Kausalitas? Sebab akibat diatas segalanya! Berpadu dalam aksi reaksi. Simulasi prahara yang tak mungkin berdiri sendiri tanpa stimulasi!. Semua bergerak maju. Aku disini statis menggaruk liang masa lalu, apakah masih ada harapan tersisa? Atau hanya roket harpun tuk ledakan jiwa?. Ketikan ini abadi, mewakili hasrat yang kemarin kuracuni hingga mati. Menantang karakter bertanduk. Bagai drama Demeter dan Hades!. Semua yang terbangkanku tinggi, selalu mendepakku lagi ke bumi! Rendahkan harapan, karena tingginya kecewa memungkinkan kawan!

Selamat pagi semesta yang gila. Semoga kita semua temukan kewarasan, meskipun dia lusuh di pinggir jalan mengiba dahaganya!

Terhanyut dalam ilusi membuat sebagian logika ini serasa mendengar eulogi. Doa dipemakaman sensasi dan egoentrisme!

Menggali celah baru untuk dimanipulasi dan merobek melati dihadapan maut. Pagi dan aroma kemboja.

Kesabaran itu tidak ada batasnya. Itulah yang membuat kita marah saat lelah mencari batasan sabar yang tak berujung!

Dalam setiap hati, setiap jiwa. Ada ruang kerontang, ada makam masa lalu yang selalu kau kunjungi dan menunggu jawaban dari bangkai itu!

Dan noira meninggalkan batas sapaan pagi menjadi sarapan memory sepanjang pagi yang baru.