Suatu pagi aku bermimpi. Aku melihatmu sebagai gadis kecil, rambut sebahu agak kemerahan. Terlalu sering dibaui matahari. Bergaun putih mengkilap dengan terusan rok mengembang seperti mangkok terbalik, dan bahu menonjol bagai kubah masjid. Duduk sendirian di kursi beranda depan rumah.

Nampak menunggu seseorang, atau sesuatu. Aku menebak-nebak bahwa kau sedang menunggu ayahmu atau ibumu. Tapi kau seperti sudah tahu apa yang sedang bekerja di kepalaku.

“Aku menunggu boneka barbie. Boneka barbie dari langit yang dikirim Tuhan untukku. Untuk menemani aku bermain tali, gosok gigi, dan tidur di malam hari.”

Matamu nampak seperti laut yang sedang berdoa.

Setelah waktu begitu lelah mempercayai dirinya sendiri, engkau tetap menjadi tuhan bagi ketidakpahaman bahwa dua bola mataku telah menjadi dua matahari kembar yang terbit saat tersentuh jari-jari cahyamu. Jari-jari cahya yang menjatuhkan hujan dari kampung langit, jari-jari cahya yang pandai mewarnai tanaman-tanaman petani, jari-jari cahya yang mampu menyembuhkan anjing-anjing kampung dari penyakit mematikan.

Aku menggambar ubur-ubur hijau yang kuambil dari mimpimu. Ketika kau tidur menjelang subuh. Tepat sebelum malaikat mengirimi rencana-rencana yang akan kau lakukan setelah kau membuka mata.

Aku selalu membawa gambar ubur-ubur hijau itu kemana saja aku pergi. Seperti kitab suci. Meski aku tak benar-benar tahu apa maksud dan makna dari gambar itu. Aku sangat ingin melihat mimik wajahmu menghentikan dimensi karena begitu bahagianya saat kutunjukan gambar ubur-ubur hijau itu padamu. Nanti. Nanti saat aku bertemu denganmu.

Kau tersenyum ketika membaca puisi yang kukirimkan lewat pos. Puisi yang sayangnya aku lupa menulis namaku sendiri di bawahnya, juga alamat darimana surat itu berasal. Aku curiga, Lupa, Kebetulan dan Takdir sedang bekerja sama.

Menyadari bahwa hari itu masih pagi, buru-buru saja kuambil gunting kertas untuk memotong langit. Akan kupotong menjadi burung-burung sriti, biar kukendarai menujumu. Menuju beberapa sentimeter dari jangkauan sentuhmu. Namun gelap. Bumi tetiba gelap. Lagi-lagi aku curiga pada konspirasi yang tak terlihat. Kuputuskan untuk tertawa sambil membaca puisi untukmu itu. Tertawa seakan-akan aku tak pernah mengenal wanita berwujud dirimu.

Kau mungkin tak pernah peduli bagaimana awal mula kita bertemu, namun waktu itu aku merasa ada angin ghaib yang sengaja menumpahkan pesonamu ke seluruh malam, ke lantai jalanan, ke tembok-tembok, ke jalinan-jalinan udara. Seperti menyumbat segala celah yang masih ada untuk tak bisa lepas darimu. Bahkan sebuah bibir yang hendak mengucap “selamat malam” padamupun tidak.

Dia tak bisa bergerak, karena terlalu banyak pesonamu yang menyumbat di dalamnya.

Seperti atheis yang tiba-tiba saja ingin menjadi pendeta suci. Atau langit yang tiba-tiba sangat ingin dipijak, disentuh, dan ditanami seperti bumi. Apa yang bisa kau lakukan selain merelakannya? Merelakan cinta itu bekerja, bereaksi, dan mengendalikan apa saja yang dirasukinya.

Mungkin ketika berumur lima tahun kau pernah datang ke sebuah pesta pernikahan bersama ibumu. Kau begitu takjub dengan baju yang dikenakan oleh pengantin. Kau jatuh cinta pada baju mewah itu.

Saat pulang, kau merengek, mengiba, memaksa ibumu untuk membelikan gaun seperti yang dikenakan pengantin. Ibumu bingung. Dia tak langsung membelikan baju yang kau minta. Kau murung hingga beberapa hari.

Bertahun-tahun kemudian kau akan tersenyum sambil meneteskan air mata. Matamu masih saja laut yang berdoa. Kau nampak cantik mengenakan baju pengantin itu. Ah tidak, kau selalu cantik.

Akupun tersenyum. Mataku hendak menyelam ke matamu.

Malam itu tanganmu begitu hangat. Akan tetap sama saat pertama kali aku jabat tanganmu