Archive for 22 Juni 2012


/1/
Sesuatu telah menjadi debur di lautan tanpa nama. Mengombang-ambingkan perahu kita yang dulu pernah tenang. Sempat kita tatap pesisir di ufuk yang tak pernah dikenali. Sempat pula kita baca petunjuk arah dari rasi-rasi yang sengaja membentuk posisi yang tak pernah mampu dimengerti. Maka kupeluk dirimu. Di atas perahu demi mencari tanda-tanda di mana keberartian mampu melabuhkan kita. Hanya angin yang sibuk berbisik menengahi peluk ataukah memang tiada isyarat yang mampu kutangkap dari tubuhmu. Seakan mereka berlarian, menjauhiku. Sedang tak kurasa lenganmu yang pelangi. Yang biasa melengkung di bibirku kala aku mengingatmu sambil menadahkan tangan di bawah rintikan hujan. Hujan tanpa angin yang seperti kini. Menggoyangkan perahu ke kanan kiri. Menunggu waktu menumbuhkan karangkarang hati. Mati diri pada kehampaan tak berujung.

/2/
Selanjutnya rindu mana yang kelak akan menyambut? Kita di sini, di atas perahu yang lahir dari rajutan bulu mata. Mengapung, dan hanyut membawa kita jauh. Tiba pada hampa-hampa yang menceburkan dirinya. Menjadi ombak baru yang mencipratkan heningnya di bajuku. Lalu basah. Seperti matamu—dan juga mataku diam-diam. Ataukah ombak yang ganas itu akan menghancurkan perahu kita. Kau dan aku sama-sama digulungnya. Mendamparkan kita pada pantai yang berlainan, tinggallah kita mencari jalan untuk bertahan
dengan saling menggenggam perih. Tetiba aku menjadi nahkoda yang memimpin ke mana dayung menggerak perahu untuk menghindar. Dan kau adalah layar yang mengembang lalu terlepas dari tiangnya. Dan kembali, aku sendiri dengan kuntum rasa yang sama kala perih itu kau lebamkan seutuhnya padaku. Kuteguklah laut hingga sama kerontangku dengan
dadaku. Dengan kesendirian. Perahu kita kian menjauhi arah tujuan, sedang aku ingin menangkapmu yang diterbangkan angin. Kudayung perahu koyak kita. Namun angin terlalu beringas melarikanmu. Semakin jauh aku tertinggal. Perih kian melebam di dada. Sekoyaknya perahu, sekoyaknya waktu. Laut mendadak jernih dan memantulkan wajahku. Ah, bukan aku yang kini. Namun yang lalu, yang berada di dalam kenangan bersama angan —telah diterbangkan angin. Aku membuyarkannya dengan mencelupkan tangan, merengkuh air laut dan membasuhnya ke perih luka. Sementara dirimu kian mengecil di kejauhan. Aku kian kerdil dalam sakit yang merendam luka. Melubang -lubangi duka.

/3/
Barangkali aku adalah manusia dengan segenap melankolia. Kehilangan layar yang diterbangkan angin—kau, serta kemampuan membawamu kembali. Sebab biru terlalu setia mendekap tiap luka di laut dadaku. Memaksaku berhenti di detik ini dengan sisa asa yang mengapung apung di pelupuk. Barangkali pula aku adalah pencinta dengan rindu yang karang. Kuat namun tak pernah mau beranjak dan menangisi ketegarannya sendiri. Selaik aku yang takkan pernah mau pergi dari sini. Dari perahu yang sempat membawa rangkulan senyum di jari-jemarimu. Dulu. Berilah aku isyarat barang setanda. Tentang ke mana arah angin melarikan rasa—kau. Biar kita kembali berlayar, menebas cakrawala, menuju pantai yang amat kita ingini.

/4/
Mulailah kucatat ke mana wangi bibirmu lewat mematikan bau laut yang bosan kuhirup. Menandai di ufuk mana ingatan tentangmu terbenam. Dan menghidu desir hampa yang pernah sama- sama kita rasa. Memeriksa lubang pada karang yang menyentuh ujung perahu. Mencari keberadaanmu yang telah entah dengan sisa-sisa peta senyumanmu di lubuk mata. Mata yang merah-memerih perah airnya. Maka pada suatu pagi, aku amati setiap tanda. Di air, di karang, di udara, mencuri dengar desau angin—yang melarikanmu. Berharap ada isyarat yang mampu kutangkap sebelum angin kembali merampasnya. Dan akan kau temui aku sebagai kanak yang mengeja waktu-waktu yang telah mati. Yang lalu bereinkarnasi menjadi asa baru untuk kugapai. Sebab kehilangan bukan alasan bagiku untuk mengukirkan nisan –  nisan atas segala rindu yang lebih ombak dari lautmu. Maka biarkan perahuku terbawa menujumu. Menuju ketersesatan di dadamu. Menemu muara yang kuidam. Tatap dalam kita yang lalu berpelukan.

/5/
Biarkan aku menggemuruhkan palung dadamu, yang lebih dalam dari laut manapun. Dan aku akan tetap menjadi nahkoda dengan kau menjadi layar yang kan selalu terkembang, tanpa perlu risau diterbangkan angin. Menuju pantai dengan ombak tenang, berpasir putih serta nyiur yang meneduh. Mari kita damparkan hati ke debar yang kita damba. Lalu menenggelamkan perahu setibanya di sana. Menyangsi bahwa hari ada untuk kita huni sendiri, membangunnya sendiri dengan kedipan-kedipan. Bicara tentang rahasia yang tak perlu lagi kita hanyut dan sembunyikan lagi.

Kau, perempuan yang seringkali menginginkan hujan turun di kotamu. Hujan yang sangat lebat jika kamu merasa rindu terlalu erat memeluk dadamu. Lalu, kau akan berubah menjadi bocah riang yang ingin menghambur ke rintik-rintik air jatuh itu. membiarkan ujung-ujung runcingnya membasuh kepalamu; menginginkan segala pemberat di kepala ikut hanyut bersama alirnya.

Tak jarang mendung terlalu gelap bergelantungan di kotamu, namun hujan tak hendak juga turun di situ. Mungkin juga hujan turun, namun kau tidak suka dengan petir yang menyambar-nyambar yang membuatmu terpaksa hanya bisa memandangi hujan dari kamarmu.

Kau begitu menikmati, hujan yang
selalu kau kira mampu menghapus segala penat di kepala, hujan yang kau anggap sebagai sarana untuk menumbuh kembangkan lagi asa.

Namun, kau telah melupakan suatu hal jika ada sesuatu yang bisa kamu temukan setelah hujan turun. Sebuah lengkung busur pelangi. Kau sudah terlalu berkubang dalam mendung dan hujan yang terbawa serta, hingga kau tidak sadar ada pelangi yang telah mengajakmu bermain di ujung sana.