Archive for 19 November 2011


Sebenarnya senja adalah kumpulan kupu-kupu berwarna merah tua
Terbang ke arah cakrawala yang segaris di ujung mata
Berkumpul di sana untuk menghindari kejaran malam

 

Malam memang anak yang nakal
Suka sekali bertingkah usil
Jangankan kupu-kupu, aku pun kalau bisa ingin berlari darinya
Tak ingin bertemu lalu dipeluknya tiba-tiba
Sayangnya aku tak bersayap seperti kupu-kupu
Tak juga seperti rinduku
Yang bisa terbang ke sana-ke mari mengikutimu

 

Sekarang aku sedang bersama malam
Dijahili dengan cerita-cerita sunyi tanpa suara
Dijahili dengan gambar-gambar senyuman yang membuatku susah terpejam

 

Aku ingin berlari dari malam
Aku ingin terbang bersama kupu-kupu merah tua
Ke sana, ke arah adanya cahaya
Lebih tepatnya ke arah adanya kamu
Cahaya yang untukku

“Selamat malam, kamu.”
Kemudian aku, memikirkanmu dalam-dalam, seperti hatiku yang tenggelam di lautan katamu. Rayuan yang tak pernah ingkar untuk selalu hadir dalam cakap kita. Entah apa itu, hati ini selalu berdesir dengan ikhlas saat kau menyapanya lewat telinga. Terkadang aku percaya bahwa Tuhan membubuhkan beberapa bubuk tawa di setiap kopi yang kita cangkirkan. Kita bahagia bagai burung-burung menyambut pagi yang sebenarnya, akan selalu datang menjawab kekhawatiran kita setiap malam. Iya sayang, entah mengapa kita selalu cemas setiap dikunjungi malam. Padahal fajar selalu datang setiap hari tanpa berjanji. Dia selalu datang setiap pagi untuk menghapus gelap.

Terkadang aku merasa riang saat malam datang. Karena hari-hari pertemuan kita pun perlahan mendekat. Kamu tahu? Semesta ini seperti hidup. Mereka memakan rindu dan tawa sebagai energinya, tentu saja; untuk mendekatkan kita. Jangan jadikan jarak sebagai acuan, cobalah sesekali menghitung waktu lalu tersenyumlah. Sayang, umur kita adalah hitungan mundur. Hari yang kita nantikan akan segera tiba. Biarkan jarak memakan dirinya sendiri, dan waktu mengendalikan debar-debar di dada. Ah, aku suka sekali istilah ini–debardebardidada–sangat ritmik seperti musik. Kamu tahu bagaimana aku memainkan musik? Aku mengendalikan diriku dulu, agar ritme musik bisa kujaga.

Nona manis,

Entah mengapa aku menulis ini, seperti mengabaikan rindu yang menghasut dadaku untuk berdebar cacat. Namun begitulah. Mereka menghukum kita dengan cemas yang berlebihan, memakan kita dari dalam lalu membunuh kita dengan emosi dan ketidakpercayaan. Kita tak akan benar-benar mati, namun kembali ke asal–menjadi aku dan kamu, bukan lagi kita.

 Sesore ini aku terbangun dari kenyataan, kemudian menemukan kamu duduk manis di ruang rindu.

Tunggu aku nona, aku akan kembali. Meski Tuhan tak pernah kehabisan alasan untuk menundanya dengan waktu, kita akan kembali bertemu. Mungkin abadi, mungkin juga hanya hari yang api, menghabiskan kita dengan cepat bersama riuh canda kita yang bersahutan lalu kembali lagi menjadi sepi. Ah….

Esok, aku akan tersenyum padamu, lalu matahari akan tenggelam di wajahmu, meronakan senja di pipimu. Atau, aku akan menjelma hujan selamanya, yang tak pernah bisa kamu gapai dari dalam jendela. Apapun itu, kamu akan selalu seindah pagi, kutunggu bersama secangkir kopi yang dibubuhi Tuhan bubuk tawa.

 

terima kasih untuk harinya nona